Islam dan Tanggung Jawab Muslim
Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi -
Pola asli masyarakat Islam adalah keamiran yang mengatur masyarakat dan fuqaha' yang mengatur sang amir dengan menentukan batasan shari'at, tanpa suatu kultus individu.
Islam tidak dan tidak akan pernah, per definisi, mengalami krisis atau membutuhkan perubahan. Islam, Kitab wa Sunnah, berlaku di seluruh tempat hingga akhir zaman. Islam-lah patokan dan azas penimbang bagi seluruh tindakan manusia yang harus diukurkan dan atas dasar itu tindakan kitalah yang harus diperbarui dan diubah.
Mizan Islam berlaku bagi setiap perkara baik pribadi maupun kemasyarakatan. Tidak dalam suatu kurun dan tempat pun batasan-batasan moral dan politiknya bergeser hingga bersesuaian dengan aneka khayalan dan ambisi mutakhir manusia. Batas perilaku manusia tetaplah ditentukan oleh wahyu hingga akhir kehidupan manusia. Terkandung di dalamnya penjelasan tentang kufur, syirik dan hukuman hudud, sebagaimana juga tentang hijrah dan jihad.
Batasan yang ditentukan bagi transaksi perdagangan dan sistem moneter juga telah ditetapkan. Sebagaimana tentang perang yang memiliki syarat-syarat, maka perdagangan barang-barang, pencetakan koin, pernikahan, kebiasaan perilaku seks, dan pengaturan kemaslahatan umat juga telah ditetapkan. Oleh karenanya, semua ijtihad dan semua pengembangan analogi - 'qiyas' - tentang unsur-unsur dasar itu haruslah diturunkan dari model dasar Islam di Madinah, selama fase-fase ketika ia menjadi teladan utama bagi masa depan manusia. Masyarakat Salafi di Madinah bukanlah masyarakat primitif ataupun formatif, tetapi ia adalah sebuah cetak biru sempurna bagi pola masyarakat Islam selanjutnya.
Kebingungan Ulama Modern
Jelaslah bahwa di Madinah, pada masyarakat Salafi, manusia mencapai puncak kejayaan, dan ikatan sosialnya ada pada kondisi yang tersehat dan setimbang. Mitos tentang pembangunan dan kemajuan, perpanjangan tak ilmiah tebakan biologis jaman Victoria ke dalam arena sosiologi benar-benar tak dapat diterima. Seluruh bukti-buktinya mengarah kepada kehancuran sosial, penggerusan atas kebebasan, pengekangan kehidupan dan pergerakan pribadi, penerabasan privasi, kerusakan moral, kekacauan perilaku seksual, runtuhnya ikatan pernikahan, dan lain-lain, dan lain-lain.
Hari ini kita lihat bahwa Muslim telah dipolarisasi kedalam dua kelompok, dalam sebuah dialektika yang mendukung terbentuknya rezim-rezim anti-Islam di satu sisi dan mendorong khalayak menjadi antitesa lawannya dan perlawanan subversif di sisi lainnya. Pernyataan kita adalah bahwa Sirat al-Mustaqim berada di antara kedua alternatif ini, sebuah jalan tengah, sebuah antara dan sebuah Sunnah.
Selanjutnya kita katakan bahwa kebingungan di antara 'ulama gadungan terutama disebabkan karena mereka salah membaca karakteristik 'technique' moderen, proses teknologi, karena mereka telah dicekoki oleh para penganut 'modernisme' lapuk yang telah dirasuki ide-ide dan organisasi-organisasi kafir di Mesir dan Timur Tengah. Menempatkan tuntutan budaya mesin di atas keselamatan manusia, dan lebih menyukai tatanan pengaturan sistemik atas transaksi manusia adalah sebuah pelecehan tegas dan terang-terangan atas Kitab wa Sunnah.
Rasulullah salallahu alaihi wa salam tidak membuat mesin-mesin, tetapi beliau meninggalkan manusia-manusia yang di masanya dan di masa selanjutnya menerangi, menunjuki dan menghendaki diikuti oleh manusia-manusia yang berhati dan berakal. Kita akan buktikan bahwa penyebab dialektika palsu di atas adalah sebuah dialektika palsu lainnya yang mempertentangkan antara aturan-aturan 'teknik sistemik' dan 'teknik dasar' atau teknologi primitif, sambil menyetarakan Islam Salafi sebagai dunia teknik primitif itu.
Inilah tipu daya yang telah memalukan dan menipu para terpelajar Muslim - sesuai makna teknikalnya - untuk 'manut' kepada para modernis yang telah meruntuhkan pemerintahan Islam, dan mengganti dalam proses itu, pola asli masyarakat Islam - yaitu keamiran yang mengatur masyarakat dan fuqaha' yang mengatur sang amir, dengan menentukan batasan shari'at, tanpa suatu kultus individu - dengan sebuah mitos tentang 'negara' Islam, yaitu sebuah konsep yang diturunkan dari makar Yahudi atas cara-cara bermasyarakat Barat sebelum revolusi industri. Revolusi Industri adalah suatu hasil (yang nilainya diragukan) usaha Kristen yang ideologi politik dan sistem moneternya jelas-jelas sangat Yahudi, begitu pun revolusi nuklir dan komputernya.
Menjadi keyakinan kita bahwa kunci pada Islam yang otentik, salafi wa madani, terletak di atas satu aqidah teguh yang tak bisa ditawar-tawar, satu fiqih yang berfungsi (pengetahuan atas sumber-sumber hukum, penghakiman, pelaksanaan hukuman) dan bahasa Arab. Begitu pula, kita melihat bahwa kekalisan dari sistem kendali yahudi yang merusak dan politik teknik yang memperbudak terletak pada penolakan atas sistem kredit yang kini menggerakkan teori moneter, penolakan atas nota-nota hutang (uang kertas), dan penghentian secara menyeluruh sistem perbankan.
Bahkan mereka pun akan segera runtuh sebelum kita menghancurkan mereka, yang dengan sendirinya juga akan membuka kedok mitos perbankan Islam. Suatu usaha untuk kembali pada tata cara berdagang berdasarkan pada model alat tukar dwi-logam (dinar-dirham) dan pertukaran barang sedang berlangsung, dan hanya mereka yang rakus dan cupet yang gagal melihatnya, sedang cara ini telah berlangsung di Madinah salafi.
Mari kita lihat pengelompokan ini secara lebih rinci.
Penentangan terhadap Islam sebenarnya selalu dalam satu bentuk, namun bisa saja disebut dua bentuk, jika anda mau, dua kutub yang saling bertumpukan. Kutub-kutub saling bertemu, sebagaiman acap dikatakan. Kedua penyimpangan dari Siratal Mustaqim ini dijelaskan dalam surat Fatihah.
Dalam kaitan ini mari kita berpaling kepada Ibn Taymiyyah yang menulis dalam kitabnya: Kitab Iqtida' as-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat As-hab al-Jahim:
Maka penyimpangan-penyimpangan utama ini mengandung penyimpangan sekundernya, sehingga dalam tahap ini seseorang bisa saja bertindak musyrik, yang walaupun tidak menjadikannya sebagai seorang yahudi atau kristen, namun menjadikan kualitas wawasannya seperti itu, dan sungguh, jadi begitu pula perilakunya.
Dalam bentuk sekundernya, kita dapati dua penyimpangan dalam masyarakat Muslim: kaum Mu'tazilah dan Khawarij. Yang pertama melakukan penyempalan dan membentuk sekte, sedang yang kedua memutuskan dan menolak umat, yakni, membentuk sebuah elit (sebagaimana yahudi berkelahi satu sama lain ketika mereka menulis kembali hukum-hukum Musa, alaihi salam, sedangkan para kristen mengaku-aku bahwa hanya mereka saja yang 'terampuni' dan begitu beradab). Yang pertama memasukkan semangat rasionalisme ke pokok permasalahan dengan jauh melampaui batasnya, sedangkan yang kedua memaksakan bahwa hanya mereka saja yang benar - dalam pandangan pihak pertama, tak seorang pun benar. Apa yang benar bagi seorang Mu'tazila hanya menjadi si penyidik, yang merupakan tujuan akhirnya.
Secara historis Mu'tazilah berasal dari Khawarij. Khawarij mentakfirkan mayoritas mu'minin. Lalu mereka sendiri berpecah dari janji asalinya dan mendirikan ekstremitas 'kebenaran', yang lebih jauh lagi. Pada saat itulah mereka menjadi Mu'tazilah, dan sebenarnya, dari golongan itulah gerakan ini muncul.
Maka sesuai dengan kaidahnya sendiri kedua denyut untuk melenceng dan bersekte ini terdorong untuk saling memotong dan terkait satu sama lain dalam sebuah dialektika kehancuran, sesuatu yang jarang sekali disadari oleh para pelakunya, karena kehilangan furqan Islam yang paripurna.
Tiang pertama Islam adalah dwi shahadat, 'Saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.' (salallahi alaihi wa salam). Mengapa kita katakan Kitab wa Sunnah adalah untuk memastikan bahwa yang dibawa bukanlah hanya shahadat pertama saja, namun juga shahadat yang kedua.
Ketika Islam mengalami kesulitan, muncullah manusia-manusia yang ingin mensucikannya, dan karena pengajaran tentang Allah, segala puji bagiNya, menyeru pada penghindaran atas syirik secara sangat ketat, maka mereka menyeru untuk mensucikan deen ini dari syirik, maka yang diseru adalah keseluruhan deen ini dan bukan hanya yang terkait dengan shahadat pertama saja. Ujung-ujungnya adalah, tentu saja, bukan hanya sekedar meremehkan Madinah, tetapi juga diri Rasulullah, salallahi wa alaihi wa salam, dan semoga Allah melindungi kita dari kesalahan semacam ini. Akhirnya hal ini menjadi satu pengingkaran atas shahadat kedua - karena ia dapat saja diingkari secara politik dan dalam tindakan, walaupun tetap diakui di mulut. Pengakuan atas shahadat kedua adalah pengakuan atas Shari'at itu sendiri, sehingga jika ia hilang dari suatu masyarakat dan perilakunya maka hilanglah ia. Kaum kafir pasti mau menerima sesiapa yang beriman kepada Tuhan, bahkan atas ke-Ahadan-Nya, tetapi mereka tidak bisa dan tidak akan mau menerima seluruh keindahan shahadat kedua yang menurut kaidahnya berarti 'amal, hidup sesuai aturan hukum-hukum hudud, dan berjihad di jalan Allah.
Dalam pelencengan ini akan kita tunjukkan sesiapa yang mengakui shahadat pertama dan kehilangan shahadat kedua, yaitu para muwahhidun. Dan kita mengakui bahwa: 'La tawhid bi-duni'r-rasul', tiada tawhid tanpa Rasul, karena tanpanya kita tidak akan mengenal tauhid. Inilah tauhid yang benar yang akan membawa kita pada shahadat kedua. Para muwahhidun menginginkan tauhid yang sederhana. Maka mereka menyatakan tesis mereka setiap saat dengan sebuah Kitab at-Tawhid. Dari sejarah kita ketahui bahwa akhirnya mereka memusuhi Shari'at itu sendiri, dan mengingkari cinta kepada Rasul, salallahi wa alaihi wa salam.
*) Dari Prakata buku Akar Pendidikan Islam yang diterbitkan pertama kali pada 1982
(edisi revisi Root Islamic Education, Madinah Press 2003).
Dibaca : 1411 kali
Shaykh Dr. Abdalqadir as-Sufi -
Pola asli masyarakat Islam adalah keamiran yang mengatur masyarakat dan fuqaha' yang mengatur sang amir dengan menentukan batasan shari'at, tanpa suatu kultus individu.
Islam tidak dan tidak akan pernah, per definisi, mengalami krisis atau membutuhkan perubahan. Islam, Kitab wa Sunnah, berlaku di seluruh tempat hingga akhir zaman. Islam-lah patokan dan azas penimbang bagi seluruh tindakan manusia yang harus diukurkan dan atas dasar itu tindakan kitalah yang harus diperbarui dan diubah.
Mizan Islam berlaku bagi setiap perkara baik pribadi maupun kemasyarakatan. Tidak dalam suatu kurun dan tempat pun batasan-batasan moral dan politiknya bergeser hingga bersesuaian dengan aneka khayalan dan ambisi mutakhir manusia. Batas perilaku manusia tetaplah ditentukan oleh wahyu hingga akhir kehidupan manusia. Terkandung di dalamnya penjelasan tentang kufur, syirik dan hukuman hudud, sebagaimana juga tentang hijrah dan jihad.
Batasan yang ditentukan bagi transaksi perdagangan dan sistem moneter juga telah ditetapkan. Sebagaimana tentang perang yang memiliki syarat-syarat, maka perdagangan barang-barang, pencetakan koin, pernikahan, kebiasaan perilaku seks, dan pengaturan kemaslahatan umat juga telah ditetapkan. Oleh karenanya, semua ijtihad dan semua pengembangan analogi - 'qiyas' - tentang unsur-unsur dasar itu haruslah diturunkan dari model dasar Islam di Madinah, selama fase-fase ketika ia menjadi teladan utama bagi masa depan manusia. Masyarakat Salafi di Madinah bukanlah masyarakat primitif ataupun formatif, tetapi ia adalah sebuah cetak biru sempurna bagi pola masyarakat Islam selanjutnya.
Kebingungan Ulama Modern
Jelaslah bahwa di Madinah, pada masyarakat Salafi, manusia mencapai puncak kejayaan, dan ikatan sosialnya ada pada kondisi yang tersehat dan setimbang. Mitos tentang pembangunan dan kemajuan, perpanjangan tak ilmiah tebakan biologis jaman Victoria ke dalam arena sosiologi benar-benar tak dapat diterima. Seluruh bukti-buktinya mengarah kepada kehancuran sosial, penggerusan atas kebebasan, pengekangan kehidupan dan pergerakan pribadi, penerabasan privasi, kerusakan moral, kekacauan perilaku seksual, runtuhnya ikatan pernikahan, dan lain-lain, dan lain-lain.
Hari ini kita lihat bahwa Muslim telah dipolarisasi kedalam dua kelompok, dalam sebuah dialektika yang mendukung terbentuknya rezim-rezim anti-Islam di satu sisi dan mendorong khalayak menjadi antitesa lawannya dan perlawanan subversif di sisi lainnya. Pernyataan kita adalah bahwa Sirat al-Mustaqim berada di antara kedua alternatif ini, sebuah jalan tengah, sebuah antara dan sebuah Sunnah.
Selanjutnya kita katakan bahwa kebingungan di antara 'ulama gadungan terutama disebabkan karena mereka salah membaca karakteristik 'technique' moderen, proses teknologi, karena mereka telah dicekoki oleh para penganut 'modernisme' lapuk yang telah dirasuki ide-ide dan organisasi-organisasi kafir di Mesir dan Timur Tengah. Menempatkan tuntutan budaya mesin di atas keselamatan manusia, dan lebih menyukai tatanan pengaturan sistemik atas transaksi manusia adalah sebuah pelecehan tegas dan terang-terangan atas Kitab wa Sunnah.
Rasulullah salallahu alaihi wa salam tidak membuat mesin-mesin, tetapi beliau meninggalkan manusia-manusia yang di masanya dan di masa selanjutnya menerangi, menunjuki dan menghendaki diikuti oleh manusia-manusia yang berhati dan berakal. Kita akan buktikan bahwa penyebab dialektika palsu di atas adalah sebuah dialektika palsu lainnya yang mempertentangkan antara aturan-aturan 'teknik sistemik' dan 'teknik dasar' atau teknologi primitif, sambil menyetarakan Islam Salafi sebagai dunia teknik primitif itu.
Inilah tipu daya yang telah memalukan dan menipu para terpelajar Muslim - sesuai makna teknikalnya - untuk 'manut' kepada para modernis yang telah meruntuhkan pemerintahan Islam, dan mengganti dalam proses itu, pola asli masyarakat Islam - yaitu keamiran yang mengatur masyarakat dan fuqaha' yang mengatur sang amir, dengan menentukan batasan shari'at, tanpa suatu kultus individu - dengan sebuah mitos tentang 'negara' Islam, yaitu sebuah konsep yang diturunkan dari makar Yahudi atas cara-cara bermasyarakat Barat sebelum revolusi industri. Revolusi Industri adalah suatu hasil (yang nilainya diragukan) usaha Kristen yang ideologi politik dan sistem moneternya jelas-jelas sangat Yahudi, begitu pun revolusi nuklir dan komputernya.
Menjadi keyakinan kita bahwa kunci pada Islam yang otentik, salafi wa madani, terletak di atas satu aqidah teguh yang tak bisa ditawar-tawar, satu fiqih yang berfungsi (pengetahuan atas sumber-sumber hukum, penghakiman, pelaksanaan hukuman) dan bahasa Arab. Begitu pula, kita melihat bahwa kekalisan dari sistem kendali yahudi yang merusak dan politik teknik yang memperbudak terletak pada penolakan atas sistem kredit yang kini menggerakkan teori moneter, penolakan atas nota-nota hutang (uang kertas), dan penghentian secara menyeluruh sistem perbankan.
Bahkan mereka pun akan segera runtuh sebelum kita menghancurkan mereka, yang dengan sendirinya juga akan membuka kedok mitos perbankan Islam. Suatu usaha untuk kembali pada tata cara berdagang berdasarkan pada model alat tukar dwi-logam (dinar-dirham) dan pertukaran barang sedang berlangsung, dan hanya mereka yang rakus dan cupet yang gagal melihatnya, sedang cara ini telah berlangsung di Madinah salafi.
Mari kita lihat pengelompokan ini secara lebih rinci.
Penentangan terhadap Islam sebenarnya selalu dalam satu bentuk, namun bisa saja disebut dua bentuk, jika anda mau, dua kutub yang saling bertumpukan. Kutub-kutub saling bertemu, sebagaiman acap dikatakan. Kedua penyimpangan dari Siratal Mustaqim ini dijelaskan dalam surat Fatihah.
Yaitu, mereka yang telah tersesat dan mereka yang telah dimurkai Allah, Segala Puji bagi-Nya. Para mufassirin sepakat bahwa makna - asali dan tak berubah - dari ayat itu merujuk kepada kristen dan yahudi. Kaum kristen tersesat karena gagal mengenali Rasul terakhir karena pelencengannya menjadikan 'Isa, alaihi salam, sebagai satu 'tuhan' penebus. Kesalahan yahudi lebih buruk lagi. Bukan saja mereka berpaling dari nabinya sendiri, mereka gagal mengenali 'Isa alaihi salam dan selanjutnya Rasul Penutup, salallahu alaihi wa salam. Karenanya mereka dikutuk, bertebaran di muka bumi, tak lagi mungkin bersatu lagi sebagai satu kaum. Dapat kita katakan bahwa kesalahan kristen bersifat metafisika, atau terkait dengan ibadah, sedangkan kesalahan jahudi bersifat politis, atau terkait dengan hukum.Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih dan Maha PenyayangSegala puji hanya kepada Allah Penguasa Semesta AlamMaha Pengasih dan Maha PenyayangRaja Hari PerhitunganHanya kepada Mu kami menyembah dan hanya kepada Mu kami memohonBimbinglah kami pada jalan yang lurus, jalan mereka yang Engkau ridhai, bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan tersesat.
Dalam kaitan ini mari kita berpaling kepada Ibn Taymiyyah yang menulis dalam kitabnya: Kitab Iqtida' as-Sirat al-Mustaqim Mukhalafat As-hab al-Jahim:
'Dengan pasti: sumber kekafiran yahudi adalah karena mereka tidak beramal sesuai dengan ilmu yang mereka miliki, karena walaupun mereka mengetahui kebenaran mereka tidak mengikutinya dalam perkataan dan perbuatan, bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Sumber kekafiran kristen adalah karena mereka bertindak tanpa ilmu, karenanya mereka menjalankan berbagai bentuk ibadah tanpa ketentuan dari Allah, dan mereka mengaku-aku tentang Allah tanpa ilmu. Oleh karena itu, para Salaf terdahulu seperti Sufyan ibn 'Uyayna dan yang lain biasa berkata: 'Jika salah seorang ulama kita melakukan kesalahan maka ia bersalah seperti seorang yahudi, dan jika seorang ahli ibadah kami berbuat kesalahan maka ia bersalah seperti seorang kristen.''Penyimpangan Selanjutnya
Maka penyimpangan-penyimpangan utama ini mengandung penyimpangan sekundernya, sehingga dalam tahap ini seseorang bisa saja bertindak musyrik, yang walaupun tidak menjadikannya sebagai seorang yahudi atau kristen, namun menjadikan kualitas wawasannya seperti itu, dan sungguh, jadi begitu pula perilakunya.
Dalam bentuk sekundernya, kita dapati dua penyimpangan dalam masyarakat Muslim: kaum Mu'tazilah dan Khawarij. Yang pertama melakukan penyempalan dan membentuk sekte, sedang yang kedua memutuskan dan menolak umat, yakni, membentuk sebuah elit (sebagaimana yahudi berkelahi satu sama lain ketika mereka menulis kembali hukum-hukum Musa, alaihi salam, sedangkan para kristen mengaku-aku bahwa hanya mereka saja yang 'terampuni' dan begitu beradab). Yang pertama memasukkan semangat rasionalisme ke pokok permasalahan dengan jauh melampaui batasnya, sedangkan yang kedua memaksakan bahwa hanya mereka saja yang benar - dalam pandangan pihak pertama, tak seorang pun benar. Apa yang benar bagi seorang Mu'tazila hanya menjadi si penyidik, yang merupakan tujuan akhirnya.
Secara historis Mu'tazilah berasal dari Khawarij. Khawarij mentakfirkan mayoritas mu'minin. Lalu mereka sendiri berpecah dari janji asalinya dan mendirikan ekstremitas 'kebenaran', yang lebih jauh lagi. Pada saat itulah mereka menjadi Mu'tazilah, dan sebenarnya, dari golongan itulah gerakan ini muncul.
Maka sesuai dengan kaidahnya sendiri kedua denyut untuk melenceng dan bersekte ini terdorong untuk saling memotong dan terkait satu sama lain dalam sebuah dialektika kehancuran, sesuatu yang jarang sekali disadari oleh para pelakunya, karena kehilangan furqan Islam yang paripurna.
Tiang pertama Islam adalah dwi shahadat, 'Saya bersaksi tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.' (salallahi alaihi wa salam). Mengapa kita katakan Kitab wa Sunnah adalah untuk memastikan bahwa yang dibawa bukanlah hanya shahadat pertama saja, namun juga shahadat yang kedua.
Ketika Islam mengalami kesulitan, muncullah manusia-manusia yang ingin mensucikannya, dan karena pengajaran tentang Allah, segala puji bagiNya, menyeru pada penghindaran atas syirik secara sangat ketat, maka mereka menyeru untuk mensucikan deen ini dari syirik, maka yang diseru adalah keseluruhan deen ini dan bukan hanya yang terkait dengan shahadat pertama saja. Ujung-ujungnya adalah, tentu saja, bukan hanya sekedar meremehkan Madinah, tetapi juga diri Rasulullah, salallahi wa alaihi wa salam, dan semoga Allah melindungi kita dari kesalahan semacam ini. Akhirnya hal ini menjadi satu pengingkaran atas shahadat kedua - karena ia dapat saja diingkari secara politik dan dalam tindakan, walaupun tetap diakui di mulut. Pengakuan atas shahadat kedua adalah pengakuan atas Shari'at itu sendiri, sehingga jika ia hilang dari suatu masyarakat dan perilakunya maka hilanglah ia. Kaum kafir pasti mau menerima sesiapa yang beriman kepada Tuhan, bahkan atas ke-Ahadan-Nya, tetapi mereka tidak bisa dan tidak akan mau menerima seluruh keindahan shahadat kedua yang menurut kaidahnya berarti 'amal, hidup sesuai aturan hukum-hukum hudud, dan berjihad di jalan Allah.
Dalam pelencengan ini akan kita tunjukkan sesiapa yang mengakui shahadat pertama dan kehilangan shahadat kedua, yaitu para muwahhidun. Dan kita mengakui bahwa: 'La tawhid bi-duni'r-rasul', tiada tawhid tanpa Rasul, karena tanpanya kita tidak akan mengenal tauhid. Inilah tauhid yang benar yang akan membawa kita pada shahadat kedua. Para muwahhidun menginginkan tauhid yang sederhana. Maka mereka menyatakan tesis mereka setiap saat dengan sebuah Kitab at-Tawhid. Dari sejarah kita ketahui bahwa akhirnya mereka memusuhi Shari'at itu sendiri, dan mengingkari cinta kepada Rasul, salallahi wa alaihi wa salam.
*) Dari Prakata buku Akar Pendidikan Islam yang diterbitkan pertama kali pada 1982
(edisi revisi Root Islamic Education, Madinah Press 2003).
Dibaca : 1411 kali